Senin, 27 April 2020

Mengapa masyarakat Indonesia mudah sekali terpapar arus hoaks

Penyebaran berita bohong atau sering disebut hoax kini tengah menjadi persoalan yang cukup serius di Indonesia. Pasalnya, hoax menjadi salah satu pemicu fenomena putusnya pertemanan, gesekan, dan permusuhan. Informasi yang bersifat hoax menyebar dengan cepat baik melalui saluran media sosial maupun grup di aplikasi chatting, misalnya WhatsApp, BlackBerry Messenger, dan masih banyak lagi. Mengapa banyak orang yang mudah percaya dengan informasi-informasi hoax dan mengapa pula penyebarannya begitu masif meski kebenarannya belum dapat dipastikan? Menurut pandangan psikologis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang cenderung mudah percaya pada hoax.

Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Misal seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya, ujar Laras Sekarasih, PhD, dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia, saat dihubungi Kompas.com. Hal tersebut, menurut Laras, juga berlaku pada kondisi sebaliknya. Seseorang yang terlalu suka terhadap kelompok, produk, dan kebijakan tertentu, jika menerima informasi yang sesuai dengan apa yang ia percayai, maka keinginan untuk melakukan pengecekan kebenaran terlebih dahulu menjadi berkurang. Secara natural, perasaan positif akan timbul di dalam diri seseorang ketika ada yang mengafirmasi apa yang dipercayai. Perasaan terafirmasi tersebut juga menjadi pemicu seseorang dengan mudahnya meneruskan informasi hoax ke pihak lain. Penyebaran hoax, selain karena adanya perasaan terafirmasi, juga dipengaruhi oleh anonimitas pesan hoax itu sendiri.
“Sering kali ada awalan pesan ‘sekadar share dari grup sebelah’. Anonimitas ini menimbulkan pemikiran bahwa jika informasinya salah, bukan tanggung jawab saya. Saya sekadar share,” ujarnya lagi. Terbatasnya pengetahuan Alasan kedua bagi seseorang mudah percaya pada hoax, lanjut Laras, bisa juga disebabkan terbatasnya pengetahuan. “Tidak adanya prior knowledge tentang informasi yang diterima bisa jadi memengaruhi seseorang untuk menjadi mudah percaya,” katanya. Ia mencontohkan informasi yang ramai disebarkan melalui broadcast message berisi ajakan untuk mengunduh aplikasi tertentu atau donasi melalui perusahaan tertentu. Kepercayaan terhadap informasi-informasi tersebut bisa jadi dikarenakan tidak ada pengetahuan sebelumnya mengenai aplikasi atau perusahaan yang dimaksud.

Fakta menariknya, tidak ada satu pun orang yang benar-benar imun terhadap hoax. Siapa saja bisa menjadi korban sesatnya informasi hoax. “Ketika berbicara soal media sosial, media digital, saya berpendapat, kita harus bedakan antara kemampuan mengevaluasi informasi dengan kemampuan mengoperasikan gawai. Seseorang yang tech savvy belum tentu information literate,” ujarnya. Oleh karena itu, secara teoretis, menurut Laras, rentan atau tidaknya seseorang terhadap hoax lebih tergantung pada kemampuan berpikir kritis, mengevaluasi informasi, dan literasi media, bukan hanya kemahiran memanfaatkan teknologi informasi.

"Hoax" memberi dampak psikologis Laras mengatakan, secara umum hoax memiliki daya untuk mengubah dan memperkuat sikap atau persepsi yang dimiliki seseorang terhadap suatu hal. Bisa jadi ketidaksetujuan terhadap kebijakan tertentu, orang tertentu, kelompok tertentu, dan sebaliknya. Namun, khusus informasi-informasi hoax yang bersifat negatif dapat menyebabkan kecemasan berlebih. “Informasi hoax yang negatif menimbulkan rasa takut terhadap dunia luar, ada kecemasan berlebih,” katanya.

 Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta Danarka Sasongko menilai, literasi publik terhadap pesan-pesan di media sosial masih rendah. Hal itulah yang menyebabkan berita-berita palsu atau hoax banyak dibagikan oleh masyarakat di media-media sosial pribadinya. Itu merupakan penyebab hoax menjadi viral yang pertama.
Masyarakat masih belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Regulasi kita juga belum menjangkau hal-hal seperti itu. Oleh karenanya, kedua aspek itu perlu dibenahi," kata Danar saat dihubungi, Ahad, 22 Januari 2017.
Kedua, menurut Danar, dunia media sosial bagi masyarakat Indonesia adalah hal yang baru. Itu sebabnya, masyarakat tergopoh-gopoh berhadapan dengan dunia yang baru tersebut. Hal itu, kata Danar, membuat masyarakat cenderung menelan sebuah informasi secara mentah-mentah. "Inilah kecenderungan masyarakat kita."
Ketiga, Danar berujar, fenomena merebaknya hoax di media sosial juga meningkat menjelang pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum. Keempat, kultur politik masyarakat belum matang. "Itu mengakibatkan political hoax banyak dikonsumsi masyarakat, black campaign," tuturnya.
Karena itu, menurut Danar, pemerintah perlu memperkuat regulasi, khususnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dia menilai, revisi UU ITE yang baru saja dilakukan hanya menjangkau aspek hukum. "Tidak melibatkan teman-teman dari ilmu komunikasi, ilmu antropologi, dan lain-lain."
Danar mengatakan, definisi-definisi khusus tidak tertulis secara gamblang dalam UU ITE. "Misalnya tentang pesan media sosial, mana yang boleh dan mana yang tidak. Jadi, semisal terdapat suatu kasus dibawa ke pengadilan, orang hanya akan berdebat per definisi yang tidak secara khusus diatur," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar