Senin, 27 April 2020

Mengapa lockdown covid-19 diyakini tidak akan berhasil dilakukan di NKRI

Mengapa lockdown covid-19 diyakini tidak akan berhasil dilakukan di NKRI

  Wabah corona (COVID-19) semakin merebak di Tanah Air. Untuk memutus mata rantai transmisi penyebaran virus pemerintah pusat memutuskan untuk mengambil langkah kebijakan social distancing secara besar-besaran.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada Senin (30/3/2020) jumlah kasus kumulatif infeksi COVID-19 di dalam negeri mencapai 1.414. Sebanyak 75 orang dinyatakan sembuh, 122 orang meninggal dunia dan 1.217 masih mendapatkan perawatan intensif.

Dalam beberapa hari terakhir, jumlah kasus bertambah lebih dari 100 dalam sehari. Lonjakan kasus diprediksi masih akan terjadi untuk ke depannya. Pemerintah pun kini memilih untuk menerapkan social distancing secara besar-besaran.
Dalam pengumumannya kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa ini merupakan kondisi darurat sipil. Aparat kepolisian dan tentara akan diterjunkan untuk berpatroli. Akan ada penindakan hukum bagi mereka yang tidak mematuhi aturan ini.

Bahkan sempat dikabarkan, akses keluar masuk Jabodetabek akan ditutup kecuali untuk logistik. Indonesia memang belum memilih opsi lockdown seperti negara-negara lain. Namun, jika sudah melibatkan pembatasan dan akses masuk ke suatu wilayah dan orang-orang diminta untuk tinggal di rumah ini sudah bisa dibilang lockdown.

Lockdown sendiri merupakan upaya untuk memutus rantai transmisi penyebaran virus ke tingkat yang paling rendah. Menurut kajian World Economic Forum (WEF), lockdown bertujuan untuk menurunkan tingkat penyebaran virus.

Lockdown terbukti berhasil dilakukan di China. Pada saat jumlah kasus infeksi masih berada di angka kurang dari 500, China memutuskan untuk menetapkan lockdown Provinsi Hubei terutama kota Wuhan yang diyakini sebagai sumber penyebaran virus.

Tepat pada 23 Maret 2020, pemerintah China menutup segala bentuk akses transportasi dari dan ke Wuhan. Kurang lebih ada 11 juta penduduk Wuhan yang terisolilasi kala itu. Pada awal-awal lockdown China masih memperbolehkan warganya untuk beraktivitas normal.

Namun seiring dengan lonjakan kasus yang terjadi makin tinggi, pemerintah China mengetatkan aturan dengan melarang setiap orang untuk keluar rumah. Selain itu China juga menerjunkan tenaga medisnya untuk datang ke rumah-rumah warga demi melakukan tes kesehatan. Bagi yang menunjukkan indikasi terinfeksi virus dipaksa untuk mengisolasi diri.
Genap dua bulan sudah Wuhan berada dalam kondisi lockdown, akhirnya pada 19 Maret lalu, otoritas kesehatan China mengumumkan tidak ada pertambahan kasus baru lagi di Provinsi Hubei. Lockdown di China memang brutal dan lebih ke eksperimen sehingga banyak dikecam pada awalnya. Namun strategi tersebut terbukti berhasil.
China bisa dikatakan menjadi negara pertama yang menang melawan corona. Pada Sabtu (28/3/2020) pemerintah China resmi mencabut status karantina Wuhan. Transportasi publik kembali beroperasi dan pembatasan wilayah dibuka. Namun orang-orang masih waspada dan tampak masih menggunakan masker di berbagai stasiun.

Langkah lockdown juga diikuti oleh negara lain yakni Italia (9/3/2020) dan Spanyol (15/3/2020) yang notabene menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak kedua dan ketiga setelah AS dan menggeser posisi China.
Dalam kajiannya, WEF juga menilai lonjakan kasus yang signifikan terjadi di Italia dan Spanyol mengindikasikan bahwa wabah tersebut sudah hampir mencapai puncaknya.

Kebijakan lockdown memang tidak serta merta akan menuntaskan wabah dalam waktu singkat. Namun dengan adanya lockdown setidaknya membantu menurunkan laju transmisi penyebaran virus.

Indonesia sudah harus ambil tindakan tegas. Pasalnya dalam sebulan, jumlah kasus di Indonesia sudah mencapai angka 1.000 lebih. Bahkan tingkat kematian akibat COVID-19 di tanah air (8,4%) tergolong tinggi jika dibandingkan dengan angka kematian global (4,8%).
Tidak peduli mau namanya diganti atau tidak, masalah COVID-19 ini tidak bisa dianggap remeh. Harus ada kejelasan dan ketegasan. Masalahnya ini sudah menyangkut nyawa warga negara yang dipertaruhkan.

Padahal nyawa merupakan hak dasar bagi tiap orang dan diatur dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 pasal 28 ayat 1. Jadi melindungi warganya dari infeksi COVID-19 sudah barang jelas merupakan tugas dan kewajiban negara.

Oleh karena itu, sekarang pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia siap atau tidak siap. Jawabannya hanya satu. Harus siap dan dipersiapkan! Setidaknya ada tiga faktor utama yang harus disiapkan oleh pemerintah terkait kebijakan karantina wilayah.
Pertama adalah regulasi yang jelas dan tegas. Aturan main harus rinci serta jelas terutama mengatur terkait, batasan-batasan kawasan yang diisolasi. Untuk batasan wilayah, pemerintah harus mempertimbangkan jumlah kasus dan pertambahan kasus yang berarti yang paling mungkin untuk dikarantina adalah Jabodetabek.

Aturan lain yang juga harus disiapkan adalah aktivitas masyarakat yang diperbolehkan hingga tidak diperbolehkan, tugas dan wewenang aparat bersangkutan di lapangan, jalur koordinasi antar kelembagaan (polisi, tentara, tim medis hingga sipil) dan yang terakhir adalah sanksi yang tegas bagi pihak yang melanggar.

Kedua, hal yang harus benar-benar diperhatikan adalah penyaluran bantuan atau stimulus. Koordinasi antar lembaga yang solid serta adanya transparansi data mutlak dibutuhkan. Pemerintah harus mengawasi dengan ketat setiap bantuan tunai baik yang berupa kartu sembako dan kartu pra kerja, sampai di tangan yang tepat.
Setiap bentuk penyelewengan bantuan ini oleh oknum tak bertanggungjawab harus ditindak dengan tegas dan pandang bulu.

Hal ketiga yang juga sangat penting adalah mempersiapkan armada dan logistik. Armada di sini adalah aparat keamanan maupun tim medis. Aparat keamanan seperti TNI dan POLRI harus disiagakan dengan jumlah yang memadai untuk menjaga keamanan baik lingkungan hingga keamanan pangan.

Armada kedua adalah tim medis dan juga sarana atau fasilitas perawatan. Perlu diketahui bersama dari aspek ini, Indonesia masih ketinggalan jauh dengan negara-negara lain. Sebagai gambaran, untuk kurang lebih 29 juta warga Jabodetabek sendiri saja hanya ada 8.700 dokter, 34.800 perawat dan 29.000 kasur rumah sakit.
Saat ini pemerintah sedang menggalakkan program sukarelawan untuk membantu tim medis di lapangan. Tak hanya itu pemerintah juga menyulap wisma atlet menjadi rumah sakit darurat sementara untuk merawat pasien yang positif mengidap COVID-19.

Tenaga medis tak hanya diterjunkan untuk merawat orang yang sakit saja. Namun tenaga medis juga harus diterjunkan untuk melakukan fungsi deteksi dini secara masif serta melakukan surveilansi. Sehingga orang yang terindikasi terkena virus bisa diisolasi terlebih dahulu agar tidak menulari orang lain.

Logistik juga jadi faktor penting lainnya yang kudu banget disiapkan. Jangan sampai terkendala di logistik, pasokan bahan pangan dan barang kesehatan menjadi terganggu apalagi sampai langka.
Untuk bahan makanan sendiri, saat ini ada beberapa bahan makanan yang di pasaran sudah melesat tinggi seperti gula, bawang putih dan cabai rawit merah.

Pemerintah harus segera investigasi pemicu kenaikan harga bahan pokok ini. Jangan sampai ada yang memanfaatkan momen ini untuk meraup untung. Jika ditemukan praktik seperti itu maka jangan segan-segan untuk melibasnya.
Dalam kondisi lockdown, toko-toko ritel penyedia bahan pokok dan obat-obatan tetap buka. Namun juga harus dijaga aparat keamanan, untuk meminimalkan potensi terjadinya kekacauan mengingat panic buying susah untuk dihindari.

Lagi-lagi harus ada aturan yang jelas seperti yang ada di poin pertama terkait jam belanja hingga jumlah orang yang berbelanja untuk meminimalkan terjadinya interaksi yang intens dengan orang lain.

Itu adalah poin-poin yang 'fardhu ain' harus disiapkan dalam keadaan lockdown. Lockdown memang bukan sebuah kewajiban. Namun jika lonjakan kasus terjadi makin signifikan, maka lockdown jadi keniscayaan.

Sekarang bukan saatnya untuk ragu-ragu. Musuh tak tak terlihat sudah di depan mata. Nyawa kita pun jadi taruhannya. Kita harus bersiap pada kemungkinan terburuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar